Rabu, 06 Januari 2010

Sastra Multikultural Jadi Pemersatu Konflik Etnik

sumber: Gatra.Com
Surabaya, 28 September 2004 17:32

Sastrawan Prof Dr Budi Darma mengatakan, sastra multikultural dapat menjadi pemersatu jika terjadi konflik etnik dalam sebuah negara, asalkan keberadaannya didukung pemerintah.

"Contohnya di Malaysia yang pernah dilanda konflik etnis orang-orang Melayu dengan Cina yang mencapai puncaknya 13 Mei 1969. Pemerintah di sana bertekad untuk memicu semangat multikultural, antara lain melalui sastra," katanya di Surabaya, Selasa.

Budi Darma mengemukakan hal tersebut pada seminar internasional dalam rangkaian kegiatan Pertemuan Sastrawan Nusantara (PNS) XIII mulai 27 - 30 September 2004 yang diikuti utusan dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina dan Thailand.

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengemukakan, karena sastra multikultural di Malaysia yang disebut "sastra perkauman" muncul dalam situasi konflik, maka karya yang muncul menyajikan penyelesaian krisis.

Di Indonesia, katanya, juga mengenal istilah sastra multikultural, karena negara ini pernah menjadi "gudang gula" secara ekonomi sehingga mengundang penduduk bangsa lain untuk datang dan menetap. Dari sekian banyak pendatang yang menetap di Indonesia, adalah orang-orang Cina.

"Sebagaimana yang terjadi di mana pun, hubungan antara pribumi dan pendatang yang menetap dapat berjalan serasi, namun dapat pula diwarnai dengan berbagai konflik," ujarnya.

Dikatakannya, karena orang-orang Cina merupakan pendatang yang paling besar jumlahnya dan paling besar pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi, maka sastra multikultural di Indonesia yang jumlahnya sangat sedikit, juga didominasi oleh hubungan antara pribumi dan orang Cina.

Beberapa contoh karya sastra multikultural dalam konteks konflik pribumi dan orang Cina itu antara lain, novel Bibi Giok karya Zarra Zettira, Miss Lu karya Naning Pranoto, Panthfinder of Love karya Richard Oh dan Pai Yin karya Lan Fang.

Menurut Budi Darma, karena multikulturalisme tidak dapat dielakkan, maka keberadaan sastra multikultural juga akan tetap muncul.

Seminar yang dipandu oleh pengamat sastra asal Ponorogo, Drs Sutedjo, MPd itu juga menghadirkan pembicara Prof Dr Dato' Zainal Kling dan Dr Hashim Ismail dari Univbersitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. [Tma, Ant]

oleh: Naily Fitriana H. (1401409312)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar