Senin, 11 Januari 2010

Upacara Ngaben di Bali

Indotoplist.com : Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Upacara Ngaben Bali
Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.

Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Upacara Ngaben Bali
Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.
Upacara Ngaben Bali
Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

Sumber : www.badungkab.go.id, baliguide.biz, id.wikipedia.org

oleh: Naily F. H. (1401409312)

Minggu, 10 Januari 2010

Karakteristik Indonesia Sebagai Masyarakat Multikultur

Karakteristik Indonesia Sebagai Masyarakat Multikultur

Bangsa Indonesia memilikkibanyak budaya yang dapat memperkaya khasanah bubaya nasional kita. Kita perlu memperoleh gambaran umum tentang kondisi ke-Indonesia-an yang bergam dan gambaran yang lebih spesifiktentang berbagai kelompok etnis dan budaya yang ada di tanah air ini. Dalam subunit 3.2 ini kita akan mengkaji beberapa etnis sebagai identitas social budaya. Karena keterbatasan tempat, waktu dan kemampuan penulis, maka disajikan mangenai Cina, Jawa dan Bali. Mengapa dipilih Cina ? Karena sebagian jumlah penduduk Indonesia berasal dari daerah ini. Kerena jumlah penduduknya banyak maka tentunya budayanya juga mempunyai banyak pengikut. Mengapa Bali ? Karena Bali sangat dikenal sebagai tempat pariwisata budaya dunia. Bahkan lebih dikenal daripada Indonesia sendiri.



Karakteristik Indonesia

Indonesia memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam segenap segi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Karakteristik itu bisa dalam bentuk :
1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah. Indonesia yang jumlah penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi petensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrapilan yang memadai. Negara Indonesia termasuk Negara yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai negara lain. Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan sabardibandingkan dengan tenaga kerja dari Negara lain. Namun karena kemampuannya rendah maka tenaga kerja Indonesia itu hanya berada pada sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan dari segi upah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.
2. Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15 terbasar dunia.
3. Posisi silang. Indonesia terletak diantara dua Samudra ( Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ) dan dua bunua ( Asia dan Australia ) karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian dari budaya dari berbagai negara. Sejarah membuktikan.
4. Kekayaan alam dan daerah tropis. Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim( penghujan dan kamarau ) maka mungkin saja membuat masyarakat ini memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya Jawa yang mengatakan “ono dino ono upo” ( ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak bisa makan ). Indonesia mimeliki kekayaan yang melimpah namun kekayaan ini masih merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga Indonesia menduduki kelompok negara yang masih miskin dari segi pendapat perkapita pertahun warganya. Sungguh ironis, Negara memiliki kekayaan besar nmun warga masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya masih rendah.
5. Jumlah pulau yang banyak. Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun lebih berwajud benua (kontinen), sedangkan pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6. Persebaran pulau. Persebaran pulau yang “terhalang” oleh air laut ini menimbulkan kendala tersendiri dalam peningkatan taraf hidup maupun pembinaan pendidikan. Bahkan warga masyarakat dari Talaut ( Sulawesi ) harus membutuhkan waktu selama dua minggu hingga satu bulan untuk mengurus surat nikah. Jadi ada kendala geografis yang membuat masyarakat di berbagai tenmpat di Indonesia ini kurang bisa mwngatasi dari daerah lain yang lebih maju.
7. Kualitas hudup yang tidak seimbang. Kesenjangan sosial ekonomi bukan saja antar daerah namun antar wilayah yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan social bagi kelompok yang tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan kantong-kantong kemiskinan. Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah tersulut dengan perkelahian, pertikaian dan bentrokkan.
8. Perbedan dan kekayaan etnis. Adanya perbedaan ini dapat memperkaya budaya antar daerah dan dapat menjadi mosaic yang indah. Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik adu domba yang sudah terlalu sering kita alami selama sejarah panjang bangsa ini.

Retmaniar Karima (1401409339)
Multikulturalisme

Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual. (Muhaemin el-Ma’hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme).

Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac” dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan aspirasi pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip; pertama, setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam demokerasi konstitusional. Kita harus menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai dengan kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi konstitusioanal juga memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan mayoritas. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendisain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokerasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).

Memang dalam kerangka konsep masyarakat multikultural dan multikulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digambarkan oleh John Haba tentang semangat kekristenan mulai menurun dikalangan intelektual dunia barat dipengaruhi semangat multikulturalisme, maka persilangan paradigma, tentang boleh tidaknya gereja dilakalangan misi bukan kristen. Para intelektual barat melemahkan visi dan misi gereja di era posmodernisme dan mereka bersikap apatis dan bahkan memilih menjadi pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi warga gereja. (John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk).

Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.untuk memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dulihat dari perfektif fungsinya bagi manusia. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).

Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikulturalisme; pertama, “multikulturalisme asosianis” yang mengacu pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat pada sistem “millet”, mereka menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya. Kedua, “multikultualisme okomodatif” nyakni masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain. Ketiga “multikultural otomatis” masyarakat yang plural dimana kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya. Keempat “multikulturalisme kritikal interaktif” masyarakat yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu concern dalam kehidupan kultur otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan. Kelima “multikultural kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).

Multikulturalisme dalam penerapan dan bagaimana kita cara melaksanakannya. Konsep dan kerangka dalam multikulturalisme di paparkan oleh B. Hari Juliawan dengan membagi multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya. Pertama kerangka multikulturalisme berkenaan dengan istilah multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme menunjukan sikap normatif tentang fakta keragaman. Multikulturalisme memilih keragaman kultur yang diwadahi oleh negara, dengan kelompok etnik yang diterima oleh masyarakat luas dan diakui keunikan etniknya. Kelompok etnik tidak membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi lembaga publik dan hak dalam masyarakat agar mengakomodasi keunikannya. Kerangka multikulturalisme kedua, merupakan turunan kerangka yang pertama nyaitu akomodasi kepentingan, dikarenakan jika kita ambil saripati dari multikulturalisme adalah menegemen kepentingan. Kepentingan disini merupakan yang relevan dari konsep multikulturalisme yang terbagi menjadi dua macam kepentingan yang bersifat umum dan khusus. Kepentingan yang bersifat umum pemenuhan yang sama pada setiap orang tanpa membedakan identitas kultur. Sedangkan kepentingan khusus pemenuhan yang terkait dengan aspek khusus kehidupan (surlvival) kelompok yang bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat melaksanakan adatnya masing-masing tanpa intimidasi dari pemerintah dan ketuatan kelompok yanga lain. Kerangka multikulturalisme yang ketiga merupakan ideologi politik dengan menjadikan setiap orang atau kelompok minor dapat menyampaikan aspirasi politiknya tanpa terjadinya penindasan dan ancaman. Kerangka keempat berkaitan dengan puncak dan tujuan dari multikulturalisme yang pantas diperjuangkan dikarenaka dibalik itu ada tujuan hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak hidup. Hal tersebut dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan penghargaan terhadap perbedaan. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).

Kebijakan multikulturalisme dalam konteks negara plural saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power sharing, lebih sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol budaya, tetapi pada alokasi kekuasaan, dan kebijakan resmi yang mengakomodir semua kelompok dalam rangka mempertahankan sekurang-kurangnya paraktek kebudayaan yang unik dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan sistem kepercayaan bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural) Kerangka keempat, puncak tujuan dari multikulturalisme hidup bersama sedekat mungkin pada kepenuhan hidup baik. Dikarenakan pada setiap orang ingin hidup baik, baik spiritual dan materialnya. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).

Multikulturalisme dapat berkembang menjadi hiper-multi-kulturalisme. Steve Fuller mengemukakan bentuk hipermultikulturalisme yang perlu dihindari. Pertama, menganggap kebudayaan sendiri yang lebih baik. Pengakuan tehadap kebudayaan sendiri mengarahkan kecintaan pada diri sendiri atau narasisme kebudayaan, jika berlebihan dapat menjadikan kolonialisasi. Kedua, pertentangan antara budaya barat dengan sisa-Barat. Pandangan ini yang dikenal dengan Eropa Sentris dalam melihat kebudayaan lain. Ketiga, pengkuan terhadap berjenis-jenis budaya. Pluralisme budaya penghargaan terhadap budaya ditangapi dikarenakan eksotis, menarik perhatian. Dan kebudayaan yang lain dilihat bukan karena eksotisnya. Keempat, penelitian budaya suatu entitas yang homogen dikuasai oleh laki-laki dan bias gender perempuan. Kelima, mencari “indigeneus culture”. Pemujaan terhadap indigeneus culture hal yang berlebihan dan kerjasama internasional mengandung unsur kebudayaan lain dapat diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang berbeda. Keenam, penduduk asli yang berbicara tentang kebudayaannya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudayaan setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Dalam multikulturalisme global masih berpegang pada doktrin asimilasi yang satu arah dan logika kebersamaan. Hal ini menjadi tantangan besar terhadap studi multikulturlisme yang selaknya menggali lebih jauh lagi masalah identitas dan perbedaan.(Farah Wardani, Representing Islam). Tilaar juga, mengemukakan tantangan multikultuiralisme, pertama adalah hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Negara yang berkembang mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasi sehingga sama dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Multikulturalisme berusaha untuk mencari esensi budaya tanpa jatuh dalam pandangan xenophobia dan ennosentrisme. Multikulturalisme melahirkan tribalisme sampai sehingga merugikan komunitas global. Ketiga adalah proses globalisasi yang berupa monokulturalisme karena gelombang dasyat globalisasi menggiling dan menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional. Masyarakat akan tersapu bersih dan kehilangan akar budayanya sehingga kehilangan akar berpijak terkena arus globalisasi. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Sabtu, 09 Januari 2010

Pendidikan Multikultural dan Implikasinya
Posted on September 6th, 2009 A. Effendi Sanusi

Kondisi masyarakat yang plural, baik dari segi budaya, ras, agama, dan status sosial memungkinkan terjadinya benturan antarbudaya, antarras, etnik, agama, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Untuk itu, dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep muncul karena ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya muncul di Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin gencar dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.


Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar ke kawasan di luar Amerika Serikat, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama, dan budaya. Sekarang, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara keragaman etnik, ras, agama, budaya, dan kebutuhan. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai dengan harapan, seyogianya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan serta ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang, baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Paradigma pendidikan multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model pembelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan multikultural dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.

Oleh : Anggraeni P (1401409275 )
Pendidikan Multikultural dan Implikasinya
Posted on September 6th, 2009 A. Effendi Sanusi No comments
Oleh: A. Effendi Sanusi

Kondisi masyarakat yang plural, baik dari segi budaya, ras, agama, dan status sosial memungkinkan terjadinya benturan antarbudaya, antarras, etnik, agama, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Untuk itu, dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep muncul karena ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya muncul di Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin gencar dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar ke kawasan di luar Amerika Serikat, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama, dan budaya. Sekarang, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara keragaman etnik, ras, agama, budaya, dan kebutuhan. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai dengan harapan, seyogianya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan serta ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang, baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Paradigma pendidikan multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model pembelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan multikultural dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.

Multikultural

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN

[JAKARTA] Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan," kata pengamat pendidikan prof Dr HAR Tilaar, kepada Pembaruan, di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Kamis (16/11).
Selain HAR Tilaar, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Yon Sugiono, dan Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Murniati Agustina.
Tilaar menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut," terang Tilaar.
Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.
Hapus Diskriminasi
Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," katanya.
Yon Sugiono menjelaskan, untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.
Sugiono menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.
"Dari serangkaian implementasi program pengembangan model pendidikan multikultural di Madrasah Pembangunan UIN bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," katanya.
Sugiono menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya saat ini bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif. "Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.
Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.
"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.
Dalam menggagas model ini, Muniarti memaparkan, PKPM Unika Atma Jaya Jakarta melakukan penelitian di 8 sekolah, antara lain, SDN Sunter Agung 03 Pagi, SDN Lebak Bulus 06, SD Andreas, Madrasah Pembangunan UIN Tangerang, dan SD Amanda (SD berbasis agama Budha).
Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," katanya.
(Adapated from Suara Pembaruan, 17 November 2006)
[yap/pr-11/2006]
Oleh : Anggraeni Puspitawati (1401409275 )

Rabu, 06 Januari 2010

Sastra Multikultural Jadi Pemersatu Konflik Etnik

sumber: Gatra.Com
Surabaya, 28 September 2004 17:32

Sastrawan Prof Dr Budi Darma mengatakan, sastra multikultural dapat menjadi pemersatu jika terjadi konflik etnik dalam sebuah negara, asalkan keberadaannya didukung pemerintah.

"Contohnya di Malaysia yang pernah dilanda konflik etnis orang-orang Melayu dengan Cina yang mencapai puncaknya 13 Mei 1969. Pemerintah di sana bertekad untuk memicu semangat multikultural, antara lain melalui sastra," katanya di Surabaya, Selasa.

Budi Darma mengemukakan hal tersebut pada seminar internasional dalam rangkaian kegiatan Pertemuan Sastrawan Nusantara (PNS) XIII mulai 27 - 30 September 2004 yang diikuti utusan dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina dan Thailand.

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengemukakan, karena sastra multikultural di Malaysia yang disebut "sastra perkauman" muncul dalam situasi konflik, maka karya yang muncul menyajikan penyelesaian krisis.

Di Indonesia, katanya, juga mengenal istilah sastra multikultural, karena negara ini pernah menjadi "gudang gula" secara ekonomi sehingga mengundang penduduk bangsa lain untuk datang dan menetap. Dari sekian banyak pendatang yang menetap di Indonesia, adalah orang-orang Cina.

"Sebagaimana yang terjadi di mana pun, hubungan antara pribumi dan pendatang yang menetap dapat berjalan serasi, namun dapat pula diwarnai dengan berbagai konflik," ujarnya.

Dikatakannya, karena orang-orang Cina merupakan pendatang yang paling besar jumlahnya dan paling besar pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi, maka sastra multikultural di Indonesia yang jumlahnya sangat sedikit, juga didominasi oleh hubungan antara pribumi dan orang Cina.

Beberapa contoh karya sastra multikultural dalam konteks konflik pribumi dan orang Cina itu antara lain, novel Bibi Giok karya Zarra Zettira, Miss Lu karya Naning Pranoto, Panthfinder of Love karya Richard Oh dan Pai Yin karya Lan Fang.

Menurut Budi Darma, karena multikulturalisme tidak dapat dielakkan, maka keberadaan sastra multikultural juga akan tetap muncul.

Seminar yang dipandu oleh pengamat sastra asal Ponorogo, Drs Sutedjo, MPd itu juga menghadirkan pembicara Prof Dr Dato' Zainal Kling dan Dr Hashim Ismail dari Univbersitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. [Tma, Ant]

oleh: Naily Fitriana H. (1401409312)

Jumat, 01 Januari 2010

MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul
dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat
seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang
berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini
sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.

Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial.

Mengapa demikian?

Karena dalam setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka yang
memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk.
Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang
perangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi,
misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China,
dan sebaliknya. Golongan penduduk Islam menyimpan sejumlah prasangka
terhadap golongan Kristen, dan sebaliknya.

Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat
langgeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah.
Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yang
lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-
golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, saling
membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk
dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial
yang ada dalam diri masing-masing.

Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat
majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan
cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih serasi dan
kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat.

Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai
golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka,
adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta
untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk
menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat
Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa
dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk
mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Pesantren-madrasah

Rangkaian renungan ini muncul dalam pikiran, saat seorang teman dari
suatu fakultas tarbiyah bertanya, “Apakah gagasan pendidikan
multikultural tepat dilaksanakan di lingkungan pesantren-madrasah?
Jika dinilai tepat, bagaimana cara melaksanakannya agar tidak
mengubah watak dasar pesantren-madrasah?”

Menjawab pertanyaan pertama, saya katakan, ini bergantung pada visi
para pengelola pendidikan pesantren-madrasah yang ada kini. Melalui
pendidikan pesantren-madrasah, generasi Muslim Indonesia yang
bagaimana yang diharapkan lahir di masa depan. Apakah yang diinginkan
generasi Muslin Indonesia yang mampu bertindak sebagai gerbang bagi
komunitas Muslim Indonesia yang terbuka untuk pergaulan antargolongan
secara jujur dan saling menghormati? Ataukah generasi Muslim
Indonesia yang lebih senang bertindak sebagai benteng yang mampu
mengamankan komunitas Muslim Indonesia dari tantangan dan ancaman
dari luar?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan sikap kita terhadap tepat-
tidaknya pendidikan multikultural diterapkan di pesantren-madrasah.
Jika yang diinginkan ialah lahirnya generasi Muslim Indonesia yang
bersikap inklusif, tidak ada alasan untuk menolak pendidikan
multikultural. Tetapi jika yang diinginkan lahirnya generasi Muslim
Indonesia yang bersikap eksklusif, pendidikan multikultural harus
ditolak, atau paling tidak “diwaspadai”. Ini merupakan persoalan yang
harus dibahas secara mendalam oleh para pengelola pesantren-madrasah
sendiri. “Orang luar” seperti saya tidak berhak mencampuri masalah
internal ini.

Apakah memasukkan agenda pendidikan multikultural ke tubuh pesantren-
madrasah tidak akan mengubah watak dasar pesantren-madrasah?

Proses integrasi

Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu berdasar pengalaman lapangan
yang saya miliki. Tetapi pengalaman yang terjadi di Jerman, seperti
diceritakan Zachary Shore (International Herald Tribune, 29/11/2006)
yang cuplikannya saya tuturkan kembali di bawah ini barangkali bisa
digunakan sebagai perbandingan.

Ada dua eksperimen menarik yang dilakukan di Jerman, yaitu di Berlin
dan Negara Bagian Baden-Wurttenberg. Di Berlin, pendidikan
multikultural untuk anak-anak Turki-Jerman dan anak-anak Jerman asli
diselenggarakan di sebuah SD bernama Aziz Nasim Europa Elementary
School. Sekolah ini bersifat bilingual. Setengah dari kegiatan
pembelajaran diselenggarakan dalam bahasa Jerman, setengahnya lagi
dalam bahasa Turki. Pelajaran agama mencakup pelajaran tentang agama
Islam dan agama Kristen.

Di Negara Bagian Badan-Wurttenberg dilakukan suatu pilot project di
12 sekolah negeri yang persentase murid-murid Muslimnya cukup tinggi.
Di negara bagian ini jumlah penduduk Muslim ialah 5,7 persen dan
jumlah ini terus meningkat. Dan pemerintah setempat tidak tahu apa
yang harus diperbuat dengan anak-anak dari penduduk Muslim ini. Maka
diluncurkanlah pilot project di bawah pimpinan Michael Blume, seorang
kandidat doktor di bidang comparative religion.

Di kedua sekolah ini anak-anak dibimbing untuk mengembangkan perasaan
bahwa mereka merupakan bagian masyarakat Jerman. Mereka dibimbing
untuk mencegah timbulnya perasaan bahwa mereka lebih merupakan bagian
masyarakat paralel di luar masyarakat utama Jerman.

Pertimbangan utama para pendukung eksperimen ini ialah masyarakat
Jerman tidak dapat terus membiarkan anak-anak Muslim tertutup dari
masyarakat utama Jerman, dan membiarkan mereka tersedot arus
ekstremisme. Sebaliknya, para pemimpin masyarakat Muslim di Jerman
menyadari, mereka tidak dapat terus membiarkan para orangtua Muslim
melarang anak-anak mereka masuk sekolah-sekolah Jerman. Ini
dilakukan, antara lain, oleh Renee Abul Ella di Berlin, melalui
organisasinya, Al Dar.

Apa yang dapat dipelajari dari berbagai pengalaman di Jerman ini?
Melalui pendidikan multikultural, para imigran Muslim di Jerman dan
Eropa umumnya dibimbing mengintegrasikan diri ke masyarakat tuan
rumah, tanpa kehilangan identitasnya. Jadi, pendidikan multikultural
diselenggarakan sebagai sarana melahirkan proses integrasi. Dapatkah
hal ini dilakukan di Indonesia? Dapat! Jika dilaksanakan dengan
benar, pada waktunya pendidikan mutikultural akan melahirkan proses
integrasi bangsa yang sehat, dan melahirkan identitas bangsa yang
sesuai dengan perkembangan zaman.

Jadi, jika pendidikan multikultural dilaksanakan di pesantren-
madrasah, pada saatnya akan lahir generasi Muslim Indonesia yang
memiliki cakrawala politik dan kultural luas tanpa kehilangan
identitas. Jika kita menerima kemajemukan dan memahami apa yang
didambakan tentang diri kita sebagai bangsa, kiranya tidak sulit
untuk menemukan cara-cara menyelenggarakan pendidikan multikultural
tanpa mengubah watak dasar kita.

by : Annisah Miftakhul Fajri (1401409072)

Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia

Agama, Pluralisme, dan Pancasila sebagai Habitus Baru


Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. sayangnya, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana, melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius seringnya pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat.

Keberagamaan yang demikian akan menjebak sense u-mat hanya kepada saudara-saudara seagama (in group feeling) dan menomorduakan saudara dari agama lain. Lahir sikap tidak objektif dalam memandang apa yang ada di luar agamanya. Lahirlah primordialisme sempit yang akan mengakibatkan berbagai konflik sosial politik dengan implikasi perang dan kekerasan antaragama yang mengatasnamakan agama. Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas. Selanjutnya, ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu perlu kita sadari fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan suatu pemujaan (cult) belaka.

Agama dan Ancaman Konflik Sosial

Agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama manapun yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama, masyaraka dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh, saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk membawa cahaya kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian harus kita sepakati terlebih dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ada banyak agama dan kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan kepercayaan semestinya tumbuh sikap saling menghormati itu.

Namun sayangnya, dari masa lalu hingga kini, suatu agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam memotret agama lain, demikian pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang menemukan titik temu atas realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu terjadilah konflik yang berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama. Sebagai pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena sudah mengalami politisasi dan fanatisme.

Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi sesuatu yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu konsep di mana penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama. Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.

Humanisme, Agama dan Politisasi

Tidak bisa tidak, agar agama-agama mampu menghadapi tantangan masa depan yang berupa globalisasi, ia harus benar-benar bersifat humanistik serta terbuka. Artinya, ketika melakukan dialog perlu ditanamkan sebuah keyakinan bahwa kebenaran suatu agama adalah milik masing-masing pemeluknya.

Sementara itu, penghargaan dan penghormatan atas agama lain adalah prioritas mutlak dalam mewujudkan kebersamaan dan perbedaan. Tanpa adanya sikap saling mengormati, tampaknya kita semakin terperosok pada keyakinan yang membabi-buta atas agama tertentu di alam yang plural ini. Dan, kita akan terjebak pada potensi-potensi kekerasan yang jelas-jelas menodai rasa kemanusiaan kita. Tugas penting agama- agama adalah bersama mencari makna kemanusiaan. Yang terjadi pada masyarakat kita selama ini adalah ketakutan mental, minimnya sikap saling menghormati dalam beragama. Ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan dalam agama.

Sikap agama terhadap masalah kemanusiaan, akan menjadi tolok ukur profetis agama di tengah masyarakat. Kehilangan fungsi profetis ini otomatis menghilangkan fungsi agama di tengah masyarakat. Bahkan, TH Sumartana almarhum (1996) mengatakan bahwa dalam diskursus kita tentang pertemuan antaragama, kita terpanggil bukan hanya untuk membuat agenda sosial politik dan lainnya. Tetapi setaraf dengan itu, kita harus mengedepankan sebuah agenda teologi sebagai kesatuan integral.

Dengan demikian, tugas teologi dalam agama mestinya diarahkan untuk mengusir rasa takut terhadap agama lain. Sehingga agenda yang sangat mendesak adalah mengalahkan ketakutan bersama antar agama itu dan memunculkan kebersamaan agama-agama dalam menjaga dan mempertahankan martabat manusia dari ancaman terutama yang datang dari diri sendiri. Di masa Orba, kita sering merasa sedih karena agama selalu mengalami reduksi dan politisasi. Doktrin agama tentang kedamaian direduksi menjadi sebentuk fundamentalisme, yaitu hasil dari proses politisasi dan fanatisasi agama. Di masa itu pula kita memahami bahwa pereduksian agama akan melahirkan situasi di mana agama tertentu terjebak dalam konfrontasi dengan kelompok agama lain. Keberagamaan kita terjebak kepada bentuk formalisme beragama. Akibat yang memilukan adalah agama justru terasing dari persoalan kehidupan manusia. Mengapa demikian? Hal ini tak lain karena fungsi agama kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal.

Oleh karena itu, di sini penting mengutip pendapat JB Banawiratma (1996) bahwa dalam memandang agama kita perlu melihatnya dalam dua aspek, yakni dengan huruf kecil dan besar. Dalam "agama" (`a´ kecil) ajaran diberikan pada manusia untuk beriman kepada Tuhan yang memberi hidup, dan dalam "Agama" (`A´ besar) para pengikutnya cenderung membakukan ajaran-ajaran yang normatif, membangun institusi dan memperlakukannya secara ekstrim. Ini artinya agama yang ia yakini benar adalah benar untuk semua, dan agama yang lain salah.

Beragama secara ekstrem sebagaimana di atas akan menutup peluang sikap saling menghormati dan membantu pihak lain. Jika kita runut ke belakang, ini terjadi akibat tafsir-tafsir atas teks agama yang masih didominasi tafsir tekstual, bukan kontekstual. Ayat suci agama tidak diorientasikan mengikuti perkembangan kemanusiaan, melainkan perkembangan kemanusiaan yang harus mengikuti aturan ayat suci. Akibatnya, pikiran kaum beragama menjadi beku dan rigid. Segala sesuatu yang konstruktif dan membawa perdamaian, tapi jika ditafsir secara berbalikan dengan teks ayat suci agama itu akan menjadi dekonstruktif.

By : Annisah Miftakhul Fajri (1401409072)