Multikulturalisme
Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual. (Muhaemin el-Ma’hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme).
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac” dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan aspirasi pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip; pertama, setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam demokerasi konstitusional. Kita harus menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai dengan kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi konstitusioanal juga memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan mayoritas. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendisain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokerasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Memang dalam kerangka konsep masyarakat multikultural dan multikulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digambarkan oleh John Haba tentang semangat kekristenan mulai menurun dikalangan intelektual dunia barat dipengaruhi semangat multikulturalisme, maka persilangan paradigma, tentang boleh tidaknya gereja dilakalangan misi bukan kristen. Para intelektual barat melemahkan visi dan misi gereja di era posmodernisme dan mereka bersikap apatis dan bahkan memilih menjadi pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi warga gereja. (John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk).
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.untuk memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dulihat dari perfektif fungsinya bagi manusia. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikulturalisme; pertama, “multikulturalisme asosianis” yang mengacu pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat pada sistem “millet”, mereka menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya. Kedua, “multikultualisme okomodatif” nyakni masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain. Ketiga “multikultural otomatis” masyarakat yang plural dimana kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya. Keempat “multikulturalisme kritikal interaktif” masyarakat yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu concern dalam kehidupan kultur otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan. Kelima “multikultural kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Multikulturalisme dalam penerapan dan bagaimana kita cara melaksanakannya. Konsep dan kerangka dalam multikulturalisme di paparkan oleh B. Hari Juliawan dengan membagi multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya. Pertama kerangka multikulturalisme berkenaan dengan istilah multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme menunjukan sikap normatif tentang fakta keragaman. Multikulturalisme memilih keragaman kultur yang diwadahi oleh negara, dengan kelompok etnik yang diterima oleh masyarakat luas dan diakui keunikan etniknya. Kelompok etnik tidak membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi lembaga publik dan hak dalam masyarakat agar mengakomodasi keunikannya. Kerangka multikulturalisme kedua, merupakan turunan kerangka yang pertama nyaitu akomodasi kepentingan, dikarenakan jika kita ambil saripati dari multikulturalisme adalah menegemen kepentingan. Kepentingan disini merupakan yang relevan dari konsep multikulturalisme yang terbagi menjadi dua macam kepentingan yang bersifat umum dan khusus. Kepentingan yang bersifat umum pemenuhan yang sama pada setiap orang tanpa membedakan identitas kultur. Sedangkan kepentingan khusus pemenuhan yang terkait dengan aspek khusus kehidupan (surlvival) kelompok yang bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat melaksanakan adatnya masing-masing tanpa intimidasi dari pemerintah dan ketuatan kelompok yanga lain. Kerangka multikulturalisme yang ketiga merupakan ideologi politik dengan menjadikan setiap orang atau kelompok minor dapat menyampaikan aspirasi politiknya tanpa terjadinya penindasan dan ancaman. Kerangka keempat berkaitan dengan puncak dan tujuan dari multikulturalisme yang pantas diperjuangkan dikarenaka dibalik itu ada tujuan hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak hidup. Hal tersebut dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan penghargaan terhadap perbedaan. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Kebijakan multikulturalisme dalam konteks negara plural saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power sharing, lebih sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol budaya, tetapi pada alokasi kekuasaan, dan kebijakan resmi yang mengakomodir semua kelompok dalam rangka mempertahankan sekurang-kurangnya paraktek kebudayaan yang unik dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan sistem kepercayaan bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural) Kerangka keempat, puncak tujuan dari multikulturalisme hidup bersama sedekat mungkin pada kepenuhan hidup baik. Dikarenakan pada setiap orang ingin hidup baik, baik spiritual dan materialnya. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Multikulturalisme dapat berkembang menjadi hiper-multi-kulturalisme. Steve Fuller mengemukakan bentuk hipermultikulturalisme yang perlu dihindari. Pertama, menganggap kebudayaan sendiri yang lebih baik. Pengakuan tehadap kebudayaan sendiri mengarahkan kecintaan pada diri sendiri atau narasisme kebudayaan, jika berlebihan dapat menjadikan kolonialisasi. Kedua, pertentangan antara budaya barat dengan sisa-Barat. Pandangan ini yang dikenal dengan Eropa Sentris dalam melihat kebudayaan lain. Ketiga, pengkuan terhadap berjenis-jenis budaya. Pluralisme budaya penghargaan terhadap budaya ditangapi dikarenakan eksotis, menarik perhatian. Dan kebudayaan yang lain dilihat bukan karena eksotisnya. Keempat, penelitian budaya suatu entitas yang homogen dikuasai oleh laki-laki dan bias gender perempuan. Kelima, mencari “indigeneus culture”. Pemujaan terhadap indigeneus culture hal yang berlebihan dan kerjasama internasional mengandung unsur kebudayaan lain dapat diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang berbeda. Keenam, penduduk asli yang berbicara tentang kebudayaannya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudayaan setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam multikulturalisme global masih berpegang pada doktrin asimilasi yang satu arah dan logika kebersamaan. Hal ini menjadi tantangan besar terhadap studi multikulturlisme yang selaknya menggali lebih jauh lagi masalah identitas dan perbedaan.(Farah Wardani, Representing Islam). Tilaar juga, mengemukakan tantangan multikultuiralisme, pertama adalah hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Negara yang berkembang mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasi sehingga sama dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Multikulturalisme berusaha untuk mencari esensi budaya tanpa jatuh dalam pandangan xenophobia dan ennosentrisme. Multikulturalisme melahirkan tribalisme sampai sehingga merugikan komunitas global. Ketiga adalah proses globalisasi yang berupa monokulturalisme karena gelombang dasyat globalisasi menggiling dan menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional. Masyarakat akan tersapu bersih dan kehilangan akar budayanya sehingga kehilangan akar berpijak terkena arus globalisasi. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Minggu, 10 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar