Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul
dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat
seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang
berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini
sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial.
Mengapa demikian?
Karena dalam setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka yang
memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk.
Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang
perangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi,
misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China,
dan sebaliknya. Golongan penduduk Islam menyimpan sejumlah prasangka
terhadap golongan Kristen, dan sebaliknya.
Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat
langgeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah.
Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yang
lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-
golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, saling
membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk
dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial
yang ada dalam diri masing-masing.
Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat
majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan
cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih serasi dan
kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat.
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai
golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka,
adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta
untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk
menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat
Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa
dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk
mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Pesantren-madrasah
Rangkaian renungan ini muncul dalam pikiran, saat seorang teman dari
suatu fakultas tarbiyah bertanya, “Apakah gagasan pendidikan
multikultural tepat dilaksanakan di lingkungan pesantren-madrasah?
Jika dinilai tepat, bagaimana cara melaksanakannya agar tidak
mengubah watak dasar pesantren-madrasah?”
Menjawab pertanyaan pertama, saya katakan, ini bergantung pada visi
para pengelola pendidikan pesantren-madrasah yang ada kini. Melalui
pendidikan pesantren-madrasah, generasi Muslim Indonesia yang
bagaimana yang diharapkan lahir di masa depan. Apakah yang diinginkan
generasi Muslin Indonesia yang mampu bertindak sebagai gerbang bagi
komunitas Muslim Indonesia yang terbuka untuk pergaulan antargolongan
secara jujur dan saling menghormati? Ataukah generasi Muslim
Indonesia yang lebih senang bertindak sebagai benteng yang mampu
mengamankan komunitas Muslim Indonesia dari tantangan dan ancaman
dari luar?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan sikap kita terhadap tepat-
tidaknya pendidikan multikultural diterapkan di pesantren-madrasah.
Jika yang diinginkan ialah lahirnya generasi Muslim Indonesia yang
bersikap inklusif, tidak ada alasan untuk menolak pendidikan
multikultural. Tetapi jika yang diinginkan lahirnya generasi Muslim
Indonesia yang bersikap eksklusif, pendidikan multikultural harus
ditolak, atau paling tidak “diwaspadai”. Ini merupakan persoalan yang
harus dibahas secara mendalam oleh para pengelola pesantren-madrasah
sendiri. “Orang luar” seperti saya tidak berhak mencampuri masalah
internal ini.
Apakah memasukkan agenda pendidikan multikultural ke tubuh pesantren-
madrasah tidak akan mengubah watak dasar pesantren-madrasah?
Proses integrasi
Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu berdasar pengalaman lapangan
yang saya miliki. Tetapi pengalaman yang terjadi di Jerman, seperti
diceritakan Zachary Shore (International Herald Tribune, 29/11/2006)
yang cuplikannya saya tuturkan kembali di bawah ini barangkali bisa
digunakan sebagai perbandingan.
Ada dua eksperimen menarik yang dilakukan di Jerman, yaitu di Berlin
dan Negara Bagian Baden-Wurttenberg. Di Berlin, pendidikan
multikultural untuk anak-anak Turki-Jerman dan anak-anak Jerman asli
diselenggarakan di sebuah SD bernama Aziz Nasim Europa Elementary
School. Sekolah ini bersifat bilingual. Setengah dari kegiatan
pembelajaran diselenggarakan dalam bahasa Jerman, setengahnya lagi
dalam bahasa Turki. Pelajaran agama mencakup pelajaran tentang agama
Islam dan agama Kristen.
Di Negara Bagian Badan-Wurttenberg dilakukan suatu pilot project di
12 sekolah negeri yang persentase murid-murid Muslimnya cukup tinggi.
Di negara bagian ini jumlah penduduk Muslim ialah 5,7 persen dan
jumlah ini terus meningkat. Dan pemerintah setempat tidak tahu apa
yang harus diperbuat dengan anak-anak dari penduduk Muslim ini. Maka
diluncurkanlah pilot project di bawah pimpinan Michael Blume, seorang
kandidat doktor di bidang comparative religion.
Di kedua sekolah ini anak-anak dibimbing untuk mengembangkan perasaan
bahwa mereka merupakan bagian masyarakat Jerman. Mereka dibimbing
untuk mencegah timbulnya perasaan bahwa mereka lebih merupakan bagian
masyarakat paralel di luar masyarakat utama Jerman.
Pertimbangan utama para pendukung eksperimen ini ialah masyarakat
Jerman tidak dapat terus membiarkan anak-anak Muslim tertutup dari
masyarakat utama Jerman, dan membiarkan mereka tersedot arus
ekstremisme. Sebaliknya, para pemimpin masyarakat Muslim di Jerman
menyadari, mereka tidak dapat terus membiarkan para orangtua Muslim
melarang anak-anak mereka masuk sekolah-sekolah Jerman. Ini
dilakukan, antara lain, oleh Renee Abul Ella di Berlin, melalui
organisasinya, Al Dar.
Apa yang dapat dipelajari dari berbagai pengalaman di Jerman ini?
Melalui pendidikan multikultural, para imigran Muslim di Jerman dan
Eropa umumnya dibimbing mengintegrasikan diri ke masyarakat tuan
rumah, tanpa kehilangan identitasnya. Jadi, pendidikan multikultural
diselenggarakan sebagai sarana melahirkan proses integrasi. Dapatkah
hal ini dilakukan di Indonesia? Dapat! Jika dilaksanakan dengan
benar, pada waktunya pendidikan mutikultural akan melahirkan proses
integrasi bangsa yang sehat, dan melahirkan identitas bangsa yang
sesuai dengan perkembangan zaman.
Jadi, jika pendidikan multikultural dilaksanakan di pesantren-
madrasah, pada saatnya akan lahir generasi Muslim Indonesia yang
memiliki cakrawala politik dan kultural luas tanpa kehilangan
identitas. Jika kita menerima kemajemukan dan memahami apa yang
didambakan tentang diri kita sebagai bangsa, kiranya tidak sulit
untuk menemukan cara-cara menyelenggarakan pendidikan multikultural
tanpa mengubah watak dasar kita.
by : Annisah Miftakhul Fajri (1401409072)
Jumat, 01 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar