Kamis, 31 Desember 2009

Pendiddikan Multikultur dalam Islam

A. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia.Kenyataan ini dapat dilihat dari sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu,  juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam kepercayaan dan aliran keyakinan lainnya.
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan yang sekarang ini dihadapi bangsa ini, seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), premanisme,   perseteruan   politik,   kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan dan hilangnya kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh kongkrit terjadinya tragedi pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis China di Jakarta pada bulan Mei 1998, dan perang antara Islam - Kristen di Maluku Utara sejak 1999 sampai 2003.
Sebagai pemeluk agama yang mayoritas penduduknya muslim, maka lembaga pendidikan Islam cukup mendapat tempat di negeri ini. Namun permasalahan yang mendasar dalam hal ini adalah sejauhmana orientasi pendidikan Islam dalam mengakomodir permasalahan-permasalahan yang muncul di tengah-tenagah masyarakat. Mengingat dalam kondisi masyarakat yang multikultural ini, sangat rentan terhadap disintegrasi dan gap di tengah masyarakat, jika orientasi dan pemahaman keagamaan masyarakat tidak mampu menerima fakta sosial di tengah-tengah mereka.
Dalam upaya menjembatani harapan tersebut maka konsep pendidikan multikultural menjadi salah satu solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Namun demikian, isu pendidikan ini masih relatif  baru dalam kancah pendidikan di Indonesaia, terutama dalam lingkup masyarakat muslim. Hal ini mengingat, multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan.

B. Multikultarisme
1. Pengertian Multikulturalisme
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.Istilah multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda.
Selanjutnya dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Konsep pluralis mengandaikan adanya “hal-hal yang lebihn dari satu (many)”, sedangkan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme, sebenarnya masih tergolong relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Sebagai terminologi baru, multikultiralisme, menurut HAR. Tilaar, masih belum banyak dipahami orang. Karena memang istilah multikulturalisme itu sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah.  Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau plural, dan “kulural” yang berarti  kultur atau budaya.
Pada tahap pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang esensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Dan pada tahap perkembangan berikutnya yang disebut gelombang kedua (second wave), dari paham multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagai berikut;  Pertama,  pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural studies) antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan maslah-maslah kontemporer seperti toleransi antarkelompok dan agama.
Kedua, postkolonialisme. Pemikiran postkolonialisme meloihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah. Pandangan-pandangan postkolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.
Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul suatu upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi budaya local merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural budaya dunia.
Keempat, feminisme dan post peminisme. Gerakan feminisme yang semula berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini meningkat kea rah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan pekerjaan di dalam masyarkat.
Kelima, Post-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya dekonstruksi dam rekonstruksi masyarakat yang telah mempunyai struktur-struktur yang telah mapan yang bisanya hanya untuk melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.
Dari gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas, maka dapat  dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh Negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya. Diversitas dalam masyarakat modern bias berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bias dikategorikan dalam tiga hal, yaitu; Pertama, perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang  berlaku.
Kedua, perbedaan dalam perspektif (perspective diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, perbedaan komunitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).
 
2. Sejarah Multikulturalisme
 Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu; Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah cirri utama dari gelombang pertama ini.
Kedua, yaitu yang disebut gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat adapt (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme, dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu, pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat. Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bias memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.  Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bias bersikap kritis terhadap system budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari system nil;aid an cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relative sekaligus partial dan memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya pun yang berhak memaksakan budayanya kepada system budaya lain.
Ketiga,  pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Dalam sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang diwacanak oleh J. Hector St. John \de Crevecour seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”.  Dalam hal ini Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal, sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot masih menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Wacana multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu global seiring dengan berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal demarkasi antarnegara. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
 
C. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budya siswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan, dan demokrasi. Ada pula yang menyatakan bahwa pendidikan multicultural adalah sebuah ide atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar bahwa semua siswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya, punya kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah formal.
Dua definisi di atas tampaknya lahir pada seting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh system pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Pendidikan dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. bank adalah konsep ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman social, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun Negara. Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multicultural adalah proses pendiudikan yang komprehensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi prularitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender, dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid, dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagigi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarkat, pendidikan multikulral mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.
 
D. Pendidikan Islam Multikultural Dalam Konteks Keindonesiaan
Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutif oleh Sangkot, bahwa setidaknya ada empat isu pokok yang dipandang sebagai landasan normative pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang keagamaan, yaitu: 1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pean-Nya (wahyu), 2) kesatuan kenabian, 3) tidak ada paksaan dalam beragama, dan 4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.
Sedangkan masalah-maslah yang muncul dari pendidikan multicultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu; pertama,  pendidikan multicultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multicultural yang baru dimulai dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.
Kedua, pendidikan multicultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing) dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multicultural yang dibutuhkan oleh masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Konsep dasar dari pendidikan multicultural itu memiliki empat nilai ini (core values), yaitu:
1. Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat.
2. Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia.
3. Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia.
4. Pengembangan tanggung jawab manusia dan terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai-nilai inti di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu:
1. Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat
2. Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3. Memperkuat kompetensi intelektual dan budaya-budaya yang hidup di masyarakat
4. Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice).
5. Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi, dan
6. Mengembangkan ketrampilan aksi social (social action).
Dari uraian di atas kiranya ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam penerapan pendidikan Islam multicultural di Indoneisa, yaitu; Pertama, pendidikan multicultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesa ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suku gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya, betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Kedua, pendidikan multicultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikulural adlah pendidikan ysenantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas, dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat.
Ketiga, pendidikan multicultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar.
Keempat, pendidikan multicultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima.

E. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam multikultural sebagai pembina agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik. Pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkala berhadapan dengan realitas sosial dan budaya di era globalisasi.
 
Dikutip dari : http://www.fai.umj.ac.id/indek.php
oleh: Lina Daniati (1401409052)

Minggu, 20 Desember 2009

Multikultural di Indonesia

Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia

Agama, Pluralisme, dan Pancasila sebagai Habitus Baru

Penulis : Benny Susetyo

Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. sayangnya, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana, melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius seringnya pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat.

Keberagamaan yang demikian akan menjebak sense u-mat hanya kepada saudara-saudara seagama (in group feeling) dan menomorduakan saudara dari agama lain. Lahir sikap tidak objektif dalam memandang apa yang ada di luar agamanya. Lahirlah primordialisme sempit yang akan mengakibatkan berbagai konflik sosial politik dengan implikasi perang dan kekerasan antaragama yang mengatasnamakan agama. Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas. Selanjutnya, ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu perlu kita sadari fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan suatu pemujaan (cult) belaka.

Agama dan Ancaman Konflik Sosial

Agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama manapun yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama, masyaraka dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh, saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk membawa cahaya kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian harus kita sepakati terlebih dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ada banyak agama dan kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan kepercayaan semestinya tumbuh sikap saling menghormati itu.

Namun sayangnya, dari masa lalu hingga kini, suatu agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam memotret agama lain, demikian pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang menemukan titik temu atas realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu terjadilah konflik yang berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama. Sebagai pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena sudah mengalami politisasi dan fanatisme.

Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi sesuatu yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu konsep di mana penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama. Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.

Humanisme, Agama dan Politisasi

Tidak bisa tidak, agar agama-agama mampu menghadapi tantangan masa depan yang berupa globalisasi, ia harus benar-benar bersifat humanistik serta terbuka. Artinya, ketika melakukan dialog perlu ditanamkan sebuah keyakinan bahwa kebenaran suatu agama adalah milik masing-masing pemeluknya.

Sementara itu, penghargaan dan penghormatan atas agama lain adalah prioritas mutlak dalam mewujudkan kebersamaan dan perbedaan. Tanpa adanya sikap saling mengormati, tampaknya kita semakin terperosok pada keyakinan yang membabi-buta atas agama tertentu di alam yang plural ini. Dan, kita akan terjebak pada potensi-potensi kekerasan yang jelas-jelas menodai rasa kemanusiaan kita. Tugas penting agama- agama adalah bersama mencari makna kemanusiaan. Yang terjadi pada masyarakat kita selama ini adalah ketakutan mental, minimnya sikap saling menghormati dalam beragama. Ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan dalam agama.

Sikap agama terhadap masalah kemanusiaan, akan menjadi tolok ukur profetis agama di tengah masyarakat. Kehilangan fungsi profetis ini otomatis menghilangkan fungsi agama di tengah masyarakat. Bahkan, TH Sumartana almarhum (1996) mengatakan bahwa dalam diskursus kita tentang pertemuan antaragama, kita terpanggil bukan hanya untuk membuat agenda sosial politik dan lainnya. Tetapi setaraf dengan itu, kita harus mengedepankan sebuah agenda teologi sebagai kesatuan integral.

Dengan demikian, tugas teologi dalam agama mestinya diarahkan untuk mengusir rasa takut terhadap agama lain. Sehingga agenda yang sangat mendesak adalah mengalahkan ketakutan bersama antar agama itu dan memunculkan kebersamaan agama-agama dalam menjaga dan mempertahankan martabat manusia dari ancaman terutama yang datang dari diri sendiri. Di masa Orba, kita sering merasa sedih karena agama selalu mengalami reduksi dan politisasi. Doktrin agama tentang kedamaian direduksi menjadi sebentuk fundamentalisme, yaitu hasil dari proses politisasi dan fanatisasi agama. Di masa itu pula kita memahami bahwa pereduksian agama akan melahirkan situasi di mana agama tertentu terjebak dalam konfrontasi dengan kelompok agama lain. Keberagamaan kita terjebak kepada bentuk formalisme beragama. Akibat yang memilukan adalah agama justru terasing dari persoalan kehidupan manusia. Mengapa demikian? Hal ini tak lain karena fungsi agama kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal.

Oleh karena itu, di sini penting mengutip pendapat JB Banawiratma (1996) bahwa dalam memandang agama kita perlu melihatnya dalam dua aspek, yakni dengan huruf kecil dan besar. Dalam "agama" (`a´ kecil) ajaran diberikan pada manusia untuk beriman kepada Tuhan yang memberi hidup, dan dalam "Agama" (`A´ besar) para pengikutnya cenderung membakukan ajaran-ajaran yang normatif, membangun institusi dan memperlakukannya secara ekstrim. Ini artinya agama yang ia yakini benar adalah benar untuk semua, dan agama yang lain salah.

Beragama secara ekstrem sebagaimana di atas akan menutup peluang sikap saling menghormati dan membantu pihak lain. Jika kita runut ke belakang, ini terjadi akibat tafsir-tafsir atas teks agama yang masih didominasi tafsir tekstual, bukan kontekstual. Ayat suci agama tidak diorientasikan mengikuti perkembangan kemanusiaan, melainkan perkembangan kemanusiaan yang harus mengikuti aturan ayat suci. Akibatnya, pikiran kaum beragama menjadi beku dan rigid. Segala sesuatu yang konstruktif dan membawa perdamaian, tapi jika ditafsir secara berbalikan dengan teks ayat suci agama itu akan menjadi dekonstruktif.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu 21 Januari 2006

oleh : Lina Daniati (1401409052)

Sabtu, 19 Desember 2009

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SUKU SAMIN

Wong Samin, begitu orang menyebut mereka. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Soersentiko yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain diluar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura timur Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal dikawasan pegunungan Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama dikalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko (nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914) diantaranya:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
• Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu yang amat sangat, berbicara apa adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Jomblo-ito atau Samin Lugu, dan Samin sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan pemberani. Kelompok ini mudah curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara yang tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan masyarakat Bojonegoro dan Blora. Mereka melaksanakan pernikahan secara langsung, tanpa melibatkan lembaga-lembaga pemerintah bahkan agama, karena agama mereka tidak diakui negara. Mereka menganggap agamanya sebagai Agama Adam, yang diterapkan turun temurun. Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan para pemimpin samin adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan. Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan dirinya. Oleh para pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak. Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.


Berikut beberapa solusi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan suku Samin :
1. menolak membayar pajak
sikap suku samin ini bisa disikapi dengan cara memberi penyuluhan atau penjelasan bahwa pembayaran pajak adalah untuk kepentingan bersama dan manfaatnya akan kembali pada masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pemerintah.
2. mengisolasi diri
memberikan penjelasan suku samin bahwa menerima pendapat orang lain itu penting untuk pengembangan diri dan memotivasi untuk menjadi yang lebih baik.
3. mudah curiga pada pendatang
memberikan penjelasan suku samin bahwa tidak semua pendatang bersikap seperti penjajah yang berniat buruk. Jadi, sikap terlalu curiga itu kurang baik.
4. suka membantah dengan cara yang tidak masuk akal
tetap memberi kesempatan pada suku samin untuk berpendapat, tapi jika tidak sesuai menolaknya dengan cara memberi pengertian secara pelan-pelan.


Oleh: Retmaniar Karima 1401409339

MASALAH SOSIAL MASYARAKAT SUNDA DAN SOLUSINYA

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. “Kegemilangan” kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda. Dalam perkembangannya kebudayaan Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas orang Sunda tampak semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Hal ini bisa diatasi dengan menjadikan pelajaran bahasa sunda sebagai salah satu kurikulum di sekolah-sekolah. Sehingga para generasi muda bisa memahami bahasa sunda dengan baik dan pada akhirnya mereka mencintai bahasa sunda tersebut. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Adanya kondisi yang menunjukkan lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda disebabkan karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda. Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya “pegangan bersama” yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Apalagi jika kita menengok sekarang ini kebudayaan Sunda dihadapkan pada pengaruh budaya luar. Jika kita tidak pandai- pandai dalam memanajemen masuknya budaya luar maka kebudayaan Sunda ini lama kelamaan akan luntur bersama waktu.
Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki orang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda. Untuk itu diperlukan adanya program pemberantasan buta aksara, bagi mereka yang belum bisa baca dan tulis. Dan bagi masyarakat Sunda sendirilah yang harus mulai bangkit untuk menuliskan karya sastra yang berlatarkan kebudayaan mereka. Kalau bukan mereka siapa lagi yang hendak melestarikan kebudayaan sunda.
SISTEM INTERAKSI DALAM SUKU SUNDA
Jalinan hubungan antara individu- individu dalam masyarakat suku Sunda dalam kehidupan sehari- hari berjalan relatif positif. Apalagi masyarakat Sunda mempunyai sifat someah hade ka semah. Ini terbukti banyak pendatang tamu tidak pernah surut berada ke Tatar Sunda ini, termasuk yang enggan kembali ke tanah airnya. Lebih jauh lagi, banyak sekali sektor kegiatan strategis yang didominasi kaum pendatang. Ini juga sebuah fakta yang menunjukkan bahwa orang Sunda mempunyai sifat ramah dan baik hati kepada kaum pendatang dan tamu.
Diakui pula oleh etnik lainnya di negeri ini bahwa sebagian besar masyarakat Sunda memang telah menjalin hubungan yang harmonis dan bermakna dengan kaum pendatang dan mukimin. Hal ini ditandai oleh hubungan mendalam penuh empati dan persahabatan Tidaklah mengherankan bahwa persahabatan, saling pengertian, dan bahkan persaudaraan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara warga Sunda dan kaum pendatang. Hubungan urang Sunda dengan kaum pendatang dari berbagai etnik dalam konteks apa pun-keseharian, pendidikan, bisnis, politik, dan sebagainya-dilakukan melalui komunikasi yang efektif. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kesalahpahaman dan konflik antarbudaya antara masyarakat Sunda dan kaum pendatang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang menjadi penyebab utamanya adalah komunikasi dari posisi-posisi yang terpolarisasikan, yakni ketidakmampuan untuk memercayai atau secara serius menganggap pandangan sendiri salah dan pendapat orang lain benar. Sikap seperti ini memang sulit untuk diubah. Namun dengan memberikan penjelasan secara pelan-pelan mereka pasti bisa menerima pendapat orang lain.
Perkenalan pribadi, pembicaraan dari hati ke hati, gaya dan ragam bahasa (termasuk logat bicara), cara bicara (paralinguistik), bahasa tubuh, ekspresi wajah, cara menyapa, cara duduk, dan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan akan turut memengaruhi berhasil tidaknya komunikasi antarbudaya dengan orang Sunda. Pada akhirnya, di balik kearifan, sifat ramah, dan baik hati orang Sunda, sebenarnya masih sangat kental sehingga halini menjadi penunjang di dalamterjalinnya system interaksi yang berjalan harmonis.
STRATIFIKASI SUKU SUNDA
Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung pada penilaian masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, seperti terhadap perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari keputusan yang ditentukan oleh kaum keluarganya. Dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya dalam suatu desa, kehidupan masyarakatnya sangat banyak dikontrol oleh pamong desa. Pak Lurah dalam suatu desa merupakan “top leader” yang mengelola pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara adat dan keagamaan. Selain pamong desa ini, masih ada golongan lain yang dapat dikatakan sebagai kelompok elite, yaitu tokoh-tokoh agama. Mereka ini turut selalu di dalam proses pengambilan keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan dan perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan Eugene Nida, menggambarkan struktur masyarakat yang demikian sebagai masyarakat suku atau agraris.
Perbedaan status di antara kelompok elite dengan masyarakat umum dapat terjadi berdasarkan status kedudukan, pendidikan, ekonomi, prestige sosial dan kuasa. Robert Wessing, yang telah meneliti masyarakat Jawa Barat mengatakan bahwa ada kelompok
“in group” dan “out group” dalam struktur masyarakat. Kaum memandang sesamanya sebagai “in group” sedang di luar status mereka dipandang sebagai “out group.
W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision–making Process in Four West Java Villages (1971) juga menyimpulkan bahwa ada stratifikasi masyarakat ke dalam kelompok elite dan massa. Elite setempat terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, guru, tokoh-tokoh politik, agama dan petani-petani kaya. Selanjutnya, petani menengah, buruh tani, serta pedagang kecil termasuk pada kelompok massa. Informal leaders, yaitu mereka yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat berpengaruh di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin kelompok khusus atau seluruh desa.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.

Oleh : Naily Fitriana H. (1401409312)